My Story (Part 1)



CHAPTER ONE

2002. Setelah menyelesaikan pendidikan di D3 Periklanan Universitas Indonesia dan sesaat bersantai menikmati masa kebebasan, saya memutuskan untuk mulai memasuki dunia kerja. Langkah pertama: mencari pekerjaan. Yang ternyata tidak mudah. Saat itu, saya ingin bekerja di bidang Periklanan, sesuai dengan pendidikan saya. Saat itu posisi yang saya inginkan adalah menjadi Storyboard Artist. Posisi yang langka memang, tapi sesuai dengan minat dan hobi saya yaitu menggambar.

Tapi sekali lagi, mencari pekerjaan tidak semudah membayangkan mendapatkan pekerjaan. Yang sesuai dengan keinginan, dan dapat uang banyak. Beberapa kesempatan bekerja di Agensi Iklan tidak membuahkan hasil. Kata orang belum rezeki. Sampai suatu ketika, saya mendapati sebuah iklan di internet tentang sebuah rumah produksi yang sedang membutuhkan seorang storyboard artist. Ini kesempatan saya!

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari tempat tinggal saya saat itu di Depok, sampailah saya di daerah Antasari, Jakarta Selatan. Di halaman sebuah rumah produksi bernama Rexinema. Besar harapan saya saat itu, untuk bisa bekerja di tempat ini sebagai seorang storyboard artist. Tapi lagi-lagi, kenyataan berbicara lain.

Saya mendapati bahwa posisi impian saya itu sudah terisi oleh orang lain. Hampir saya memutuskan untuk pulang menelan kekecewaan, sebelum saya akhirnya mendapatkan suatu tawaran dari mereka. Suatu kesempatan yang nantinya benar-benar membukakan mata dan mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan.

Tawaran untuk bekerja magang di produksi film mereka yang berjudul Tusuk Jelangkung dan disutradarai oleh Dimas Djayadiningrat. Tawaran untuk bekerja magang sebagai... kru artistik.



CHAPTER TWO

Walaupun saat itu saya tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang deskripsi pekerjaan sebagai seorang kru artistik, saya tidak butuh waktu lama untuk menerima tawaran dari mereka. Saat itu di mata saya, ini adalah suatu kesempatan. Untuk mendapatkan pekerjaan yang selama ini memang saya cari-cari. Memang bukan seperti yang saya inginkan, tapi anggap saja suatu pengalaman dan pembelajaran baru untuk saya. Dan yang paling penting, saya bisa menghasilkan uang.

Keesokan paginya, kembalilah saya ke Rexinema. Siap untuk bekerja. Lengkap dengan kemeja, celana bahan, dan sepatu kulit imitasi satu-satunya kebanggaan saya. Tapi reaksi pertama yang saya dapatkan dari rekan-rekan yang saya temui adalah tatapan heran dan tawa kecil mereka. Apa yang salah, pikir saya? Ternyata kostum yang saya pakai menyalahi norma kewajaran busana kerja kru artistik. Mereka bilang, besok cukuplah pakai kaos dan celana jeans saja. Saya belum paham, tapi ya sudahlah. Paling tidak, sebagai anak baru saya sudah berhasil meninggalkan kesan bagi seisi kantor.

Seiring waktu berjalan, saya menemukan esensi sejati dari menjadi seorang kru artistik. Menjadi seorang pekerja lapangan, sebagaimana tim lainnya dalam sebuah produksi audio visual. Banyak pembelajaran yang saya peroleh di lapangan. Tentang kerjasama, kerja keras, dan tanggung jawab. Tidak dengan cara yang mudah, tapi dengan cara yang keras, penuh tekanan dan minim fasilitas yang memanjakan. Saya belajar untuk menghargai hidup, bekerja sebaik mungkin dengan apa yang saya punya. Pembelajaran ini tidak semata-mata hanya saya peroleh di proyek perdana saya di film Tusuk Jelangkung, tapi juga di produksi-produksi lain yang menyertai sesudahnya.



CHAPTER THREE

Tiga tahun saya lewati sebagai kru artistik. 15 kilogram berat badan saya telah lenyap selama itu. Dan saya masih menikmati semuanya. Bukan, bukan menikmati perut yang rata dan pipi yang tirus. Tapi keberadaan saya sebagai pekerja lapangan. Dengan pengalaman yang terlalu banyak untuk diceritakan disini, dengan segala suka dukanya. Dan segala pembelajaran yang memperkaya perjalanan hidup saya saat itu. Saking menikmatinya, saya hampir melupakan cita-cita awal saya untuk menjadi seorang storyboard artist.

Tapi Tuhan punya rencana lain. Tak disangka-sangka, datanglah tawaran kepada saya untuk mengerjakan storyboard sebuah film layar lebar, Bangsal 13 karya sutradara Ody C Harahap alias Ocay. Yang kebetulan sekali, diproduksi oleh rumah produksi Rexinema. Sama dengan yang membuat film Tusuk Jelangkung dulu. Singkat cerita, kembalilah saya ke tempat dimana saya pertama kali menjejakkan kaki di dunia produksi audio visual. Kali ini di posisi yang memang saya inginkan, sebagai seorang Storyboard Artist. Dan kali ini, tanpa tragedi salah kostum.

Semua berjalan lancar. Kerja di kantor, nyaman di ruang ber-AC. Saya melakukan pekerjaan terbaik yang saya bisa, yaitu menggambar. Dan dengan bayaran yang lebih baik pula. Saya tidak punya keinginan yang lain lagi. Saat itu buat saya, ini adalah pencapaian. Setelah apa yang telah saya lewati. Tapi ternyata ini belum akhir cerita.





No comments:

Post a Comment